Rabu, 28 Juli 2010

MENCARI PEMIMPIN IDEAL

Antara Harapan dan Realita

Abdul Syakur, S.Pd.I*

syakur.jpgSetiap kali suksesi kepemimpinan, baik di tingkat nasional, daerah, bahkan di tingkat desa sekalipun, selalu diwarnai oleh pesta demokrasi, yang oleh kebanyakan masyarakat dimaknai sebagai “ PESTA PANEN RAKYAT“. Pilkades merupakan bagian dari proses demokrasi yang ada di tingkat desa. Untuk itu, kita seharusnya berupaya untuk membangun wacana “Demokratisasi” untuk bisa memberikan pendidikan politik (civiv education ) kepada masyarakat, agar mereka bisa menentukan pilihan sesuai hati nuraninya masing-masing dalam memilih calon kepala desa yang memiliki kapabilitas (kemampuan), kredibilitas (pengakuan masyarakat) dan akuntabilitas (tanggungjawab).

 

Mencari pemimpin ideal, sebenarnya masih banyak membutuhkan penafsiran-penafsiran. Pertanyaan yang muncul diantaranya, ideal itu standarnya apa..?, menurut siapa…? dan konsepnya apa…?. Dalam forum ini kita akan membidik pemimpin ideal itu dalam dua konteks, yaitu konteks agama dan kebangsaan.Potret Pemimpin Ideal            Agama Islam memandang penting terhadap sebuah kepemimpinan (ro`iyyah), karena pada hakikatnya kita semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas kepemimpinan itu. Ada beberapa kriteria Pemimpin yang disyaratkan dalam pandangan agama, yaitu :1.      Amanah (terpercaya)Seoarang pemimpin harus mendapat kepercayaan masyarakat, karena sebuah masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera akan terbentuk manakala pemimpinnya mendapat kepercayaan (legitimasi) dari masyarakat.2.      Fatonah (cerdas)Persyaratan menjadi pemimpin adalah memiliki kemampuan intelegen (IQ) yang standar, sehingga mampu menganalisa dan mengatasi masalah yang di wilayahnya.3.      Tabligh (komunikatif)Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat dan pimpinan yang ada di atasnya, sehingga akses informasi bisa diterima ileh semua warga.4.      Shidiq (jujur)Kejujuran seorang pemimpin merupakan bagian dari kesuksesan dalam kepemimpinannya, karenan kejujuran saat ini merupakan sesuatu yang sulit untuk dibuktikan dan sedikit sekali. Strategi Ciptakan Pilkades Damai & Demokratis            Pemilihan Kepala Desa yang demokratis merupakan harapan semua masyarakat saat ini, dimana proses demokrasi ini sering    disalah artikan dengan “ PESTA PANEN RAKYAT” yang menurut mereka, sering diartikan bahwa Pilkades akan dijadikan sebagai upaya mencari penghasilan uang dengan berbagai cara kepada semua calon Kepala Desa. Untuk itu, ada beberapa strategi untuk menciptakan Pilkades yang damai dan Demokratis. Diantaranya :1.      Memberikan pengarahan dan pengertian kepada masyarakat bahwa Pilkades ini merupakan pesta demokrasi, bukan pesta “ PANEN RAKYAT”.2.      Membuat kontrak politik dengan calon Kepala Desa, dimana kontrak politik ini akan membuat kesepakatan-kesepakatan yang ditanda tangani oleh beberapa calon.3.      Menyusun program kerja bersama calon, sehingga masyarakat mengetahui kemampuan masing-masing calon untuk merumuskan program yang diusung.4.      Menciptakan Pilkades damai dengan cara melakukan kontrak politik kepada calon agar bisa mengendalikan dan mengkondisikan simpatisan dan konstituennya.Demikian sedikit uraian yang kami sampaikan sebagai bahan acuan untuk menciptakan Pilkades damai dan Demokratis. Semoga!!!* Redaktur Pelaksana Majalah “ BANGKIT “ Purwodadi.

February 16, 2007 - Posted by pkbgrobogan | Opini

Meramu Pemimpin Ideal

20 June 2009 1,388 views No Comment

2995996710_fd2129b8f0Pencarian sosok seorang pemimpin yang tepat memang tak akan pernah ada habisnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Menjelang pemilu presiden 2009, berbagai acara bermunculan untuk menjawab pertanyaan yang kurang lebih sama: Bagaimanakah sosok pemimpin ideal Indonesia 2009-2014. Berbagai ahli didatangkan, dari pengamat ekonomi, sosial politik, dan termasuk ahli psikologi. Namun untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui ramuan dasar dari sosok pemimpin yang ideal, yaitu dasar analisis ketika para ahli mencoba meramalkan keberhasilan para calon presiden. Asumsi awal saya, keberhasilan seorang calon presiden akan bergantung dengan bagaimana kecocokan kepribadian serta visi dan misinya terhadap situasi negara saat itu. Dengan kata lain, seorang pemimpin Indonesia akan muncul sesuai dengan tuntutan situasinya saat itu. Contohlah mantan presiden Soekarno yang anti-imperialisme, tegas dalam berprinsip, dan membawa semangat revolusi (http://tokohindonesia.com), sehingga tepat dalam memimpin Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Namun hal ini berbeda dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki pembawaan tenang, berwibawa, serta bertutur kata bermakna dan sistematis (http://tokohindonesia.com) yang akhirnya terpilih dalam pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di tahun 2004. Perbedaan situasi pada dua masa tersebut ternyata menghasilkan dua pemimpin yang sangat berbeda kepribadiaannya. Kondisi ini dikenal dengan pandangan situasionalis.

Pandangan situasionalis menekankan bahwa pemimpin terpilih tidak lebih dari sebuah refleksi budaya dan nilai dalam masyarakat pada masa itu (House, Spangler, & Woycke, 1991). Situasi pada masyarakat yang sedang menggembar-gemborkan demokrasi misalnya, menghasilkan sosok seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif. Namun hal ini dapat dimaknai sebaliknya, seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif akan terpilih dan sukses pada situasi di mana demokrasi sedang didengungkan. Pada titik ini, saya belum menemukan penelitian yang menemukan variabel mana yang mempengaruhi variabel lainnya.

Hubungan antara kepribadian pemimpin dengan situasinya disebut juga sebagai leader-situational match, yang menyebutkan bahwa the leader’s appeal dan kesuksesannya tergantung pada situasi, sehingga karakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang calon pemimpin akan bervariasi tergantung situasi (Winter, 1987). Hal ini tercermin pada sosok para mantan pemimpin dan pemimpin Indonesia saat ini yang hampir tidak memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya. Selain itu, begitu situasi negara berubah, maka pemimpin dengan kepribadian yang tidak cocok dengan kondisi negara tidak akan bertahan lama. Contohlah Soeharto sebagai sosok yang memiliki kontrol yang kuat terhadap dirinya maupun orang di sekitarnya (http://www.tempointeraktif.com) akhirnya lengser dari tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia setelah tuntutan akan demokrasi semakin tinggi.

Namun pandangan situasionalis tidak mampu menjelaskan secara menyeluruh mengenai para pemimpin yang berhasil. Apakah mereka hanyalah sekedar the right man on the right place in the right time?

Menurut House, Spangler, & Woycke (1991), pada pertengahan 1970an, mulai muncul teori-teori baru mengenai kepemimpinan yang tidak lagi menekankan pada pengaruh situasional, melainkan pada kepribadian pemimpin tersebut. Mulailah dikenal istilah kepemimpinan yang karismatik, dimana pemimpin tersebut dapat merubah kebutuhan, nilai, preferensi, dan aspirasi dari pemilih melalui tingkah laku, kepercayaan, dan contoh personal dari dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang karismatik adalah seseorang yang mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, memiliki kedekatan secara emosional dengan pengikutnya, dan mampu membuat pengikutnya berjuang bukan hanya karena berdasarkan self-interest semata sehingga mereka memiliki motivasi kolektif. Hasilnya, muncul motivasi untuk mencapai tujuan bersama pada masyarakat dan terbentuklah masyarakat yang kuat. Teori ini mencoba mematahkan pandangan bahwa situasilah yang menentukan tipe pemimpin seperti apa yang akan terpilih atau berhasil nantinya.

Mungkin inilah yang kurang ada dalam diri pemimpin Negara Indonesia. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia seakan-akan belum menemukan ‘pemimpin yang tak lekang dimakan zaman’. Sosok pemimpin yang tidak akan jatuh walaupun situasi berubah. Dan – lagi-lagi – mungkin, jawabannya ada pada sosok pemimpin karismatik. Hal ini memang baru sebuah kemungkinan. Namun setidaknya sebuah survei oleh Lead Institute, Universitas Paramadina dan Indo Barometer (http://www.antara.co.id) menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memang merindukan pemimpin yang karismatik.

Apakah saya mencoba menyatakan bahwa pandangan situasionalis salah besar? Dengan segala hormat terhadap eyang-eyang situasionalis, tentu saja tidak. Saya mencoba membayangkan sosok seorang pemimpin karismatik yang muncul di saat yang tepat. Coba saja bayangkan seorang pemimpin yang merefleksikan nilai yang dianut oleh rakyatnya sehingga mampu membuat rakyatnya mau bergerak dengannya untuk tujuan bersama. Sepertinya saya dapat melihat sosok pemimpin besar, dengan fondasi yang kokoh. Mungkin saja, itu adalah ramuan yang tepat untuk menemukan pemimpin ideal.

Figur Pemimpin Ideal (Refleksi Peringatan Maulid Nabi Saw)

Kepemimpinan merupakan kebutuhan asasi manusia sebagai makhluk sosial. Tanpa ada kepemimpinan, maka tatanan kehidupan masyarakat akan kacau. Pemimpin yang jujur, amanah, adil dan peduli rakyat adalah dambaan masyarakat. Itulah sebabnya seorang Irwandi, Gubernur Aceh, berani menghabiskan uang begitu banyak untuk mengadakan fit and proper test (uji layak kelayakan dan kepatutan), hanya untuk mencari figur pemimpin institusi Pemerintahan Aceh yang berkualitas. Dalam konteks Aceh, ini suatu terobosan baru dalam penjaringan pemimpin (kepala dinas).

Belakangan ini, banyak ditemukan pemimpin yang cerdas akal tapi “tidak cerdas hati” terjebak dalam perilaku menyimpang dan bersikap hedomistik buat memuaskan hawa nafsu pribadi, keluarga dan kelompoknya. Kasus seperti suap, korupsi, illegal logging dan mesum adalah realita serangkaian maksiat yang dilakukan oknum berdasi dan terhormat.

Hampir setiap hari dalam surat kabar diberitakan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan oleh pemimpin suatu daerah, instansi (dinas) pemerintahan dan lembaga swasta lainnya, khususnya di Aceh. Adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat dan mantan pejabat di daerah Aceh mulai dari gubernur, bupati, kepala dinas dan instansi/badan pemerintahan lainnya pada masa kepemimpinannya menjadi berita headline yang menghiasi media cetak saat ini. Semakin gencar pemerintah pusat mengkampanyekan slogan anti korupsi, semakin banyak pula koruptor baru yang lahir, bahkan secara jama’ah pula. Mereka berlomba-lomba untuk memperkaya diri selama masih mempunyai kesempatan tanpa ada rasa malu kepada Allah Swt dan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa moral pemimpin kita pada titik nadi yang paling rendah. Tidak ada sifat jujur, amanah, adil dan malu merupakan faktor utama terjadinya korupsi dan praktek maksiat lainnya. Fenomena krisis figur kepemimpinan seperti ini sangat memprihatinkan. 

Oleh karena itu, bulan maulid merupakan momentum yang tepat bagi pemimpin saat ini untuk menjadikan Rasulullah saw sebagai figur dan panutan dalam memimpin dan bermuhasabah (introspeksi diri) sejauh mana mereka memberi kesejahteraan dan “keberkahan” bagi rakyat di masa kepemimpinannya. Konon lagi, pemilu 2009 sudah diambang pintu. Tinggal hitungan hari. Maka, kita hendaklah nantinya memilih figur pemimpin yang ideal dan bermoral seperti Rasulullah saw. Kita tidak ingin mengulang kesalahan dalam memilih pemimpin, yang efeknya dapat merugikan negara dan menyengsarakan rakyat dalam rentang waktu yang cukup lama.

Figur Teladan
Sebagai ummat Nabi saw, kita diperintahkan oleh Allah Swt untuk mentaati dan mengikuti Nabi saw dengan mengamalkan sunnahnya dalam kehidupan sehari-hari. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri (penguasa) di antara kamu”. (QS. An-Nisa’: 59).

Rasul saw adalah seorang hamba Allah yang memiliki akhlak mulia. Sosok kepribadian beliau yang agung merupakan aplikasi dari ajaran Al-Quran. Ibaratnya, beliau adalah Al-Quran yang berjalan. Memang, karena Aisyah ra sendiri menegaskan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah Al-Quran. Bahkan Allah swt telah memuji akhlak beliau yang agung sekaligus memberikan rekomendasi bagi manusia sekalian untuk menjadikannya figur teladan dalam kehidupan ini, sebagaimana firman-Nya: “Sesunggguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab: 21). Hal ini ditegaskan pula di dalam ayat yang lain mengenai keagungan dan kemuliaan budi pekerti: “Sesunggguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Al-Qalam: 4).

Luar biasa..Predikat dan pujian ini langsung datang dari Allah Swt, karena akhlak beliau yang mulia. Maka tidak heran bila dalam waktu yang relatif singkat, beliau berhasil berdakwah dan menegakkan syariat Islam di muka bumi ini, dengan membawa peradaban Islam yang mulia dan terhormat menggantikan peradaban jahiliah yang hina dan zalim. Inilah rahasia kesuksesan dakwah Rasulullah saw yaitu akhlak mulia.

 Dari konteks inilah, tak heran bila Mikhail H Hart, dalam buku fenomenalnya The 100 a Rangking of The Most Influential Persons in History (Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah;1978) menempatkan Nabi Muhammad SAW sebagai pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Menurut Hart, Muhammad, Muhammad adalah satu-satunya yang berhasil meraih keberhasilan luar biasa baik dalam agama maupun hal duniawi. Dia memimpin bangsa yang awalnya terbelakang dan terpecah belah, menjadi bangsa maju yang bahkan sanggup mengalahkan pasukan Romawi di medan pertempuran.

Karakter Sosok Pemimpin Ideal 
Muhammad SAW di samping sebagai seorang Rasulullah, beliau juga sosok pemimpin yang ideal dan sejati. Sebagai seorang pemimpin, beliau memiliki ketauladanan yang baik yang patut dicontoh oleh pemimpin kita saat ini. 

Beliau adalah seorang pemimpin yang jujur, amanah dan adil, bukan pemimpin yang korup, nepotisme dan zalim. Beliau seorang pemimpin yang berani menegakkan “syariat Islam” di muka bumi ini, membela kebenaran dan menghancurkan kebatilan, bukan pemimpin pengecut dan takut kehilangan jabatan dan kekuasaannya. Sosok seorang pemimpin yang dermawan, pemurah dan peduli rakyat (umatnya), bukan pemimpin yang kikir dan hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya.

Beliau adalah pemimpin yang wara’ dan bertakwa, bukan pemimpin yang fasiq dan munafiq. Seorang pemimpin yang rendah diri dan tawadhu’, bukan pemimpin yang sombong dan angkuh. Seorang pemimpin yang murabbi (pendidik) dan muallim (pengajar), bukan yang hanya pandai bicara dan perintah saja. Ketika menasehati dan memberi ilmu, maka beliaulah yang pertama yang mengamalkan ilmu dan nasehatnya. Sosok pemimpin yang sederhana dan zuhud, bukan pemimpin yang hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya.

Bukan hanya itu, beliau adalah orang yang paling takut dan bertakwa kepada Allah. Setiap harinya beliau bertistighfar dan bertaubat sebanyak lebih tujuh puluh kali (H.R. Bukhari), dalam riwayat yang lain disebutkan seratus kali (H.R Muslim). Padahal, kalaupun ada kesalahan dan dosa, maka telah diampuni Allah sebelum dan sesudahnya, bahkan beliau adalah seorang manusia yang telah dijamin Allah masuk surga. Ditambah lagi dengan ibadahnya yang sungguh-sungguh dan berkualitas memberi motivasi dan menjadi contoh bagi umatnya. Inilah pemimpin yang ideal yang tidak hanya memancarkan kesalehan pribadi, tapi juga kesalehan sosial. 

Nah, bagaimana dengan karakter pemimpin kita saat ini? Sudahkah pemimpin kita menjadikan Rasulullah sebagai panutan dan model kepemimpinan mereka? Kita sangat mendambakan karakter pemimpin ideal seperti Rasulullah SAW dan para khulafaur rasyidin. Tidak ada kata mustahil menjadi seorang pemimpin ideal seperti Rasulullah. Sejarah mencatat bagaimana kepemimpinan para khulafaur rasyidin, Muawiyah, Umar bin Abdul Azis, Harun Ar-Rasyid, Salahuddin Al-ayyubi dan para pemimpin Islam lainnya pada zaman kekhilafan Islamiah, yang telah membawa Islam kepada puncak kejayaan kejayaan dan zaman keemasan. Kuncinya, mereka mencontoh dan menerapkan model kepemimpinan Rasulullah SAW. Al Quran dan Hadits adalah pedoman dalam kehidupan mereka.

Allah SWT memerintahkan kita untuk mengikuti dan mentaati beliau. Selain itu, beliau memang diutus dan dijadikan Allah sebagai sosok figur dan suri tauladan bagi umatnya. Beliau adalah manusia biasa seperti kita, bukan malaikat (QS. Al-Kahfi: 110). Maka tidak ada kata mustahil meneladani beliau. Selama ada kemauan, pasti ada jalan. 

Sebagai penutup, marilah kita menjadikan peringatan maulid ini sebagai momentum untuk introspeksi diri sejauh mana kita mencintai Rasul dan menjadikannya sebagai figur dan model pemimpin kita. Kita berharap kepada para pemimpin kita agar dapat menjalankan amanah dengan baik dan bertakwa kepada Allah SWT, karena setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya di pengadilan akhirat nantinya. Semoga para pemimpin kita diberi taufik dan hidayah oleh Allah SWT agar dapat mencontoh Rasulullah SAW dan menjadi pemimpin yang dicintai rakyat. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai dan dicintai Rasulullah dengan menghidupkan sunnahnya dan menjadikannya qudwah hasanah (suri tauladan), terutama untuk memilih figur seorang pemimpin saat ini. 

Oleh M. Yusran Hadi, Lc., MA, Dosen fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Direktur TB. Madinah B. Aceh.