Rabu, 28 Juli 2010

Meramu Pemimpin Ideal

20 June 2009 1,388 views No Comment

2995996710_fd2129b8f0Pencarian sosok seorang pemimpin yang tepat memang tak akan pernah ada habisnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Menjelang pemilu presiden 2009, berbagai acara bermunculan untuk menjawab pertanyaan yang kurang lebih sama: Bagaimanakah sosok pemimpin ideal Indonesia 2009-2014. Berbagai ahli didatangkan, dari pengamat ekonomi, sosial politik, dan termasuk ahli psikologi. Namun untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui ramuan dasar dari sosok pemimpin yang ideal, yaitu dasar analisis ketika para ahli mencoba meramalkan keberhasilan para calon presiden. Asumsi awal saya, keberhasilan seorang calon presiden akan bergantung dengan bagaimana kecocokan kepribadian serta visi dan misinya terhadap situasi negara saat itu. Dengan kata lain, seorang pemimpin Indonesia akan muncul sesuai dengan tuntutan situasinya saat itu. Contohlah mantan presiden Soekarno yang anti-imperialisme, tegas dalam berprinsip, dan membawa semangat revolusi (http://tokohindonesia.com), sehingga tepat dalam memimpin Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Namun hal ini berbeda dengan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki pembawaan tenang, berwibawa, serta bertutur kata bermakna dan sistematis (http://tokohindonesia.com) yang akhirnya terpilih dalam pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di tahun 2004. Perbedaan situasi pada dua masa tersebut ternyata menghasilkan dua pemimpin yang sangat berbeda kepribadiaannya. Kondisi ini dikenal dengan pandangan situasionalis.

Pandangan situasionalis menekankan bahwa pemimpin terpilih tidak lebih dari sebuah refleksi budaya dan nilai dalam masyarakat pada masa itu (House, Spangler, & Woycke, 1991). Situasi pada masyarakat yang sedang menggembar-gemborkan demokrasi misalnya, menghasilkan sosok seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif. Namun hal ini dapat dimaknai sebaliknya, seorang pemimpin yang berani berbicara dan tidak konservatif akan terpilih dan sukses pada situasi di mana demokrasi sedang didengungkan. Pada titik ini, saya belum menemukan penelitian yang menemukan variabel mana yang mempengaruhi variabel lainnya.

Hubungan antara kepribadian pemimpin dengan situasinya disebut juga sebagai leader-situational match, yang menyebutkan bahwa the leader’s appeal dan kesuksesannya tergantung pada situasi, sehingga karakteristik kepribadian yang dibutuhkan oleh seorang calon pemimpin akan bervariasi tergantung situasi (Winter, 1987). Hal ini tercermin pada sosok para mantan pemimpin dan pemimpin Indonesia saat ini yang hampir tidak memiliki kesamaan satu dengan yang lainnya. Selain itu, begitu situasi negara berubah, maka pemimpin dengan kepribadian yang tidak cocok dengan kondisi negara tidak akan bertahan lama. Contohlah Soeharto sebagai sosok yang memiliki kontrol yang kuat terhadap dirinya maupun orang di sekitarnya (http://www.tempointeraktif.com) akhirnya lengser dari tampuk kekuasaan tertinggi di Indonesia setelah tuntutan akan demokrasi semakin tinggi.

Namun pandangan situasionalis tidak mampu menjelaskan secara menyeluruh mengenai para pemimpin yang berhasil. Apakah mereka hanyalah sekedar the right man on the right place in the right time?

Menurut House, Spangler, & Woycke (1991), pada pertengahan 1970an, mulai muncul teori-teori baru mengenai kepemimpinan yang tidak lagi menekankan pada pengaruh situasional, melainkan pada kepribadian pemimpin tersebut. Mulailah dikenal istilah kepemimpinan yang karismatik, dimana pemimpin tersebut dapat merubah kebutuhan, nilai, preferensi, dan aspirasi dari pemilih melalui tingkah laku, kepercayaan, dan contoh personal dari dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang karismatik adalah seseorang yang mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat, memiliki kedekatan secara emosional dengan pengikutnya, dan mampu membuat pengikutnya berjuang bukan hanya karena berdasarkan self-interest semata sehingga mereka memiliki motivasi kolektif. Hasilnya, muncul motivasi untuk mencapai tujuan bersama pada masyarakat dan terbentuklah masyarakat yang kuat. Teori ini mencoba mematahkan pandangan bahwa situasilah yang menentukan tipe pemimpin seperti apa yang akan terpilih atau berhasil nantinya.

Mungkin inilah yang kurang ada dalam diri pemimpin Negara Indonesia. Mungkin, hal inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia seakan-akan belum menemukan ‘pemimpin yang tak lekang dimakan zaman’. Sosok pemimpin yang tidak akan jatuh walaupun situasi berubah. Dan – lagi-lagi – mungkin, jawabannya ada pada sosok pemimpin karismatik. Hal ini memang baru sebuah kemungkinan. Namun setidaknya sebuah survei oleh Lead Institute, Universitas Paramadina dan Indo Barometer (http://www.antara.co.id) menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memang merindukan pemimpin yang karismatik.

Apakah saya mencoba menyatakan bahwa pandangan situasionalis salah besar? Dengan segala hormat terhadap eyang-eyang situasionalis, tentu saja tidak. Saya mencoba membayangkan sosok seorang pemimpin karismatik yang muncul di saat yang tepat. Coba saja bayangkan seorang pemimpin yang merefleksikan nilai yang dianut oleh rakyatnya sehingga mampu membuat rakyatnya mau bergerak dengannya untuk tujuan bersama. Sepertinya saya dapat melihat sosok pemimpin besar, dengan fondasi yang kokoh. Mungkin saja, itu adalah ramuan yang tepat untuk menemukan pemimpin ideal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar